A.
Definisi
Pendidikan Karakter (Moral)
a. Definisi
pendidikan, karakter dan moral
“Karakter adalah sifat khas, kualitas dan kekuatan moral
pada seseorang atau kelompok” (Malino, 2012). Pusat Kurikulum (dalam
Malino, 2012) juga memberikan pengertian karakter sebagai watak tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi nilai-nilai
kebajikan yang diyakini dan digunakannya sebagai landasan cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral sama dengan
akhlak, budi pekerti dan susila. Moral dapat diartikan sebagai ajaran tentang
baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan
sebagainya. Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 dijelaskan
tentang definisi pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
b.
Definisi pendidikan karakter
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut (Sudrajat, 2010). Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of
school life to foster optimal character development”. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
karakter adalah usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai sehingga
terinternalisasi dalam diri warga sekolah khususnya siswa yang mendorong dan
mewujudkannya dalam sikap dan perilaku yang baik (Malino, 2012).
B.
Konsep Dasar Pendidikan Karakter
Menurut Ramli
(dalam Sudrajat, 2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia
yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik
bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri,
rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki
kesadaran untuk berbuat yang
terbaik atau unggul, dan individu juga mampu
bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik
adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional,
sosial, etika, dan perilaku). Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan
YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya (perasaannya).
Pendidikan
karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral
universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut
sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan
yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut
para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada
Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan
santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja
keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati,
toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter
dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau
lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
C.
Mekanisme Pembentukan Karakter
a.
Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran
karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari
pengalaman hidup seseorang, merupakan pelopor segalanya. Dua program ini
kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikir
yang bisa mempengaruhi perilaku orang tersebut. Jika program yang tertanam
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya
berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa
ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan
menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian
serius.
Pikiran sadar yang secara fisik
terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki
pengaruh sebesar 12% dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara
fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam
kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan
tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak
jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif. Dengan
memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran
menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke
arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu
kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus
kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan
penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.
b.
Proses Pembentukan Karakter
Secara alami, sejak lahir sampai
berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar
seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind)
masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke
dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga.6
Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan
tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar
lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa
perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan
rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan
menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika
sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup
yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku,
majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan
mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat
menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan.
Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk
melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi
yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran
bawah sadar. Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem
kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan,
kebiasan, dan karakter unik dari
masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki
sistem kepercayaan (belief system),
citra diri (self-image), dan
kebiasaan (habit) yang unik. Jika
sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan
terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya
tidak selaras, karakternya tidak
baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak
permasalahan dan penderitaan.